Jumat, 23 November 2012

Secuil Mimpi Untuk Muhammadiyah



Oleh: Ustz Sa'idah Fiddaroini

Bismillahirrahmanirrahim…

Masih terngiang nasihat ayahanda Haidar Nashir pada perayaan milad 1 abad Muhammadiyah di sportorium UMY Ahad lalu, bahwasanya agenda milad ini merupakan wahana dakwah dan syukur. Beliau mengatakan bahwa salah satu komitmen kuat Muhammadiyah abad ke-2 ini adalah gerakan pencerahan (At-tanwir), yaitu gerakan pembebasan melalui spirit dakwah, memberdayakan manusia sebagai insan yang memiliki kehormatan diri, gerakan yang mencerahkan kehidupan. Luar biasa mulia, sungguh amanah yang tidak mudah bagi setiap kader. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini prinsip/nilai-nilai kemanusiaan berpijak pada kegelapan, perpecahan, dan kehidupan jahiliyah. Mereka tenggelam dalam samudera penyelewangan dan terlena dalam pendewaan harta benda. Banyak orang yang tidak rukun karena masalah materi, segala sesuatu diukur dengan uang, bahkan akibat uang sepuluh ribu rupiah nyawa bisa melayang. Dengan ilmu, orang-orang malah menjadi jahiliyah, mereka tenggelam dalam permisivisme dan nihilisme. Ayahanda Hamka menggambarkan situasi ini dengan istilah “Jahiliyah Modern”. Praktek korupsi yang sempurna merata, kejahatan yang sudah menjadi hal yang biasa, kemiskinan masif yang sudah menjadi agenda, pengagungan terhadap faham individualisme yang luar biasa, sudahkah amal usaha Muhammadiyah terjaga dari semua itu? Wallahua’lam.

Sabtu, 03 Maret 2012

MAMPUKAH KITA MENJADI ULAMA’?


Jika kita mendengar kata Ulama’ disebut-sebut, maka bayangan pertama yang biasanya muncul adalah “seorang lelaki tua yang berjenggot dan bersurban yang menjadi pimpinan di sebuah pesantren tradisional, bacaannya kitab kuning dan bijak tutur katanya serta baik perangainya”. Itu gambaran menurut kebanyakan masyarakat. Namun, apakah ulama’ selalu begitu?
Mari kita telusuri bersama makna ulama’ secara global dan karakteristik mereka. Sehingga nantinya kita dapat menilai diri kita, mampukah kita menjadi seorang ulama’. Selain itu, kita juga dapat memprediksikan tantangan yang akan dihadapi dalam mewujudkan cita-cita menjadi seorang ulama’.
Ulama’ adalah istilah yang diambil dari bahasa arab dan termasuk isim jama’ dari kata ‘alim (isim fa’il dari wazan ‘alima-ya’lamu) yang artinya orang-orang yang berilmu.
Kata ulama’ disebutkan dua kali dalam al-Qur’an, yakni dalam surat asy-Syu’araa ayat 197 (“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama’ Bani Israil mengetahuinya?”) dan dalam surat Fathir ayat 8 (“dan demikian pula diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah para ulama’ (yaitu orang yang mengetahui kekuasaan dan kebesaran Allah). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”).

Suka Duka Menjadi Calon Ulama’


Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Mengenai ketinggian derajat para ulama disebutkan dalam firman-Nya
“…Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi karakteristik bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وأورثوا العلم
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)

Senin, 13 Februari 2012

Quantum Reading

Bagaimana Menjadikan Membaca sebagai

Kegiatan Sehari-hari yang Mengasyikkan

dan Bermanfaat bagi Pertumbuhan Otak

(Pengembangan Seluruh Kecerdasan)

Apakah, secara pribadi, kita sudah menyenangi kegiatan membaca? Apakah kegiatan membaca tersebut benar-benar kita jalankan secara kontinyu dan kon-sisten, setiap hari? Apakah buku-buku yang kita baca adalah buku-buku bermanfaat untuk keperluan meningkatkan pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan potensi diri?

Apakah, secara sosial, kita juga merasa bertanggung jawab untuk menjadikan diri kita sebagai “teladan membaca”? Apakah setiap kali mengajar, kita selalu menunjukkan kepada anak didik kita sebuah buku yang sudah kita baca? Apakah kita menekankan pentingnya membaca untuk meningkatkan kualitas pembelajaran? Apakah setiap ada waktu luang, baik sedang bepergian naik kereta api, duduk di taman menunggu anak-anak selesai kursus, berada di ruang tunggu dok-ter, maupun di mana saja–kita senantiasa memanfaatkannya untuk membaca?

Sabtu, 11 Februari 2012

Quantum Writing

Oleh: Muhsin Hariyanto
"Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis"

Siapa pun yang ingin jadi penulis ia bukan hanya harus menguasai teori teknik menulis yang baik. Lebih dari itu, ia mesti mampu mengusir segala pikiran negatif yang menghambat energinya untuk menulis.

Kebanyakan penulis pemula mengalami hambatan dan kemandegan ketika mengawali proses penulisan. Hambatan itu bisa berupa persepsi dan cara pandang terhadap tujuan dan kedirian.

Bisa juga berupa kebingungan mengurai isi pikiran yang berkelebatan. Hernowo melalui Quantum Writing-nya mencoba membantu mengurai hambatan-hambatan itu. Quantum Writing ini merupakan saudara kembar dari Quantum Reading yang terbit sebelumnya. Mereka beda kulit namun sama secara substansi. Masing-masing memiliki ciri khusus, namun saling terikat satu dengan yang lain. Jiwa, semangat yang ada di dalamnya sama.

Dari sisi tubuh, tak ada yang istimewa dari Quantum Writing. Hanya tampak bahwa tulisan judulnya begitu keras, tegas, dan dinamis karena tampak menonjol dengan latar belakang hitam. Berlawanan dengan saudara kembarnya, Quantum Reading, yang lebih bernuansa cerah dan ringan dengan design yang pula sederhana. Mungkin keduanya sengaja dibedakan untuk menegaskan bahwa dua buku ini saling melengkapi. Hitam-putih. Berat-ringan.

Selasa, 31 Januari 2012

Bangsa Luar Biasa!!

 Oleh: Muhsin Hariyanto
Seorang penyiar TV di Jakarta bertanya pada korespondennya di Tokyo. "Bagaimana keadaan di Jepang? Setelah bencana, apakah harga-harga pada naik?" tanyanya. "Maksudnya bagaimana?" Tanya koresponden itu balik. "Di Indonesia, kalau ada bencana harga-harga kan naik, terutama tarif transportasi. Apakah di Jepang begitu?"

Itu sungguh perspektif kita. Bencana berarti membuat keadaan tak normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang, tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh?

Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi dalam duka bersama. Pepatah 'mengail di air keruh' tak berlaku di sana. Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru menjaga tegak martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah. Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk mencoba memotong barisan.

Sedih tentu. Siapa tak terluka kehilangan segala? Bahkan, kehilangan sanak saudara. Tapi, semua mencoba tetap tegar. Mereka menolak 'menjual sedih'. Media setempat tak banyak mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukkan upaya bangkit. Sebuah pertandingan sepak bola internasional tetap digelar. Komitmen untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur, Jepang berusaha keras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka cepat bangkit.

Jepang selalu menjadikan petaka sebagai pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan meningkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad sebelumnya, tercengang. 'Kapal Hitam' Amerika Serikat telah bersauh di Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka, 'kalah' dari bangsa lain adalah petaka.

Mereka tak membiarkan itu terjadi. Petaka 'Kapal Hitam' dipakai untuk melecut diri: mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang mengalahkan Rusia pada 1905.

Kalah telak di Perang Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah melahirkan arogansi membuta. Itu membuat Jepang salah jalan. Hasilnya, Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri menjadi lebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.

Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari tragedi itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai pohon diterpa angin. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia.

Tsunami 2011 pekan lalu memang meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti akan belajar dari tragedi ini. Belajar untuk lebih melindungi warga dari ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.

Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta saja. Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik. Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini. Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.

Saat ini, kita belum menjadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang kalah jauh dibanding tragedi Gunung Merapi. Kita masih suka mengecam bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedi menyedihkan 'bom buku' di Utan Kayu, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.

Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedi tsunami, semestinya membuat bangsa ini belajar. Belajar bagaimana kita menjadi bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar biasa.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulilsan Zaim Uchrowi, "Resonansi", Republika, Jumat, 18 Maret 2011)

Kamis, 26 Januari 2012

Empat Penjara Hati

Oleh: Muhsin Hariyanto
Seorang lelaki dengan wajah tertunduk lesu berjalan meninggalkan ruang sidang, ketukan palu "Sang Hakim" telah mengantarnya pergi jauh dari kebebasan, ia akan segera menikmati hari-hari panjangnya di "penjara".

Ini adalah gambaran keseharian dari sebuah peradilan, gambaran keseharian dari sebuah fenomena kehidupan sosial yang mulai terkontaminasi oleh kuman-kuman kehidupan.

Ada kalanya keahlian berkelit dari "Sang Tersangka" melepaskannya dari jeratan "penjara" jasmani, namun "Sang Pelaku" tidak akan pernah lepas dari Empat "Penjara" Hati.

Penjara Pertama adalah: "Jail of Hatred (Kebencian.

Ketika hati kita dipenjara oleh kebencian kita akan cenderung menjadi 'ganas' (buas), ada luapan emosi yang membara, tak terkendali, dan tinggal menunggu waktu terjadinya letupan.

"Penjara" pertama ini membuat kita menderita lebih dari yang kita perhitungkan. "Penjara" ini malah membuat kita melukai diri sendiri dengan gambaran yang berulang-ulang di benak kita, gambaran dari sumber kebencian kita, gambaran yang sesungguhnya hanya dari alam "maya", dari alam bawah sadar kita. Ada sakit yang luar biasa, ketika seorang atau sesuatu yang kita benci melewati jarak pandang kita, radar 'ngilu' di hati segera berbunyi walau seseorang atau sesuatu itu tidak menyentuh kita sedikit pun, bahkan mungkin tak mengetahui keberadaan kita. Rekaman rasa sakit segera diputar berulang-ulang di benak kita, kita akan mengalami penyiksaan bathin berkali-kali untuk satu peristiwa yang sama.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita akan menerima bola-bola lumpur yang siap kita lemparkan kepada mereka yang berada dalam list (daftar) "musuh". Ketika kita meluncurkan bola itu, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, yang dilempar tidak mengelak dan menerima bola lumpur itu sekaligus ikut menemani kita dalam perjara pertama atau yang kedua, ia mengelak bahkan tak pernah menganggap bola lumpur itu ada.

Dari dua alternatif di atas, yang pasti kita menjadi korban pertama dari bola lumpur itu, karena bola lumpur itu telah mengotori tangan kita, kita telah masuk ke dalam penjara itu dan teraniaya di sana.

Oleh berlalunya waktu dan penerimaan atas kondisi serta kekuatan memaafkan, "penjara" ini akan terbuka secara perlahan-lahan, kita akan dibebaskan kembali ke alam netral.

Penjara Kedua adalah: "Jail of Greed (Ketamakan)".

Ketika mata kita hijau, semua seakan tak pernah tercukupi, kita akan menjadi orang "termiskin" di dunia, kita cenderung akan mengambil bagian yang bukan menjadi hak kita, kita cenderung merampas hanya untuk memenuhi keinginan yang pada akhirnya tak akan pernah terpenuhi.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita sepertinya terlahir sebagai raksasa dalam dunia kurcaci, tidak ada rasa kecukupan dalam segala hal, kerakusan membawa kita tidak pernah bisa menikmati hidup, selalu ada derita karena merasa tak pernah puas.

Mari kita lihat dunia nyata saat ini, berapa banyak orang yang ingin segera kaya, lalu setelah kaya 'pingin' lebih kaya lagi, padahal orang kaya tanpa kepuasaan sebenarnya adalah orang miskin yang punya banyak uang, fenomena inilah yang membuat kita sering mendengar banyak kasus korupsi yang mewabah bak penyakit menular.

"Penjara" kedua akan terbuka dan kita akan dibebaskan jika kita telah siap menerima keadaan, merasa puas (bukan pasif, tetapi aktif, dalam arti tidak tinggal diam) serta mensyukurinya apa yang didapatnya saat ini.

Penjara Ketiga adalah: "Jail of Jealous (Iri Hati)".

Ketika benih iri tertanam, kita cenderung tak pernah dapat melihat kebahagiaan orang lain, kita merasa tersaingi, 'ego' kita seakan terhina oleh keberhasilannya, ironisnya kita merasa menderita untuk kebahagiaan itu.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita segera dikenakan kacamata yang membuat kita selalu melihat seolah-olah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita. Lalu kita pun merasa alam tidak adil terhadap kita, kita akan segera mempersalahkan sekelilingi kita untuk hal yang tidak kita dapatkan.

Yang mengejutkan malah terjadi pada saat kita mendengar kesuksesan orang yang bermil-mil jauhnya dari kita, apa yang kita rasakan pada saat itu sungguh ironis, kita malah merasa iri, padahal apa hubungannya dengan kita? Kadang-kadang malah tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas kita, lebih parah lagi kita malah iri dengan teman kita sendiri, dengan saudara kita sendiri, dengan orang-orang yang kita kenal. Hasilnya, hanyalah penderitaan, ada perasaan tidak mengenakkan di hati kita.

"Penjara" ini akan terbuka ketika 'hati kita' menyadari atas ketidakkekalan (baik kesuksesan atau kegagalan), dan kita dapat menerima keberhasilan orang lain sebagai pemicu keberhasilan kita.

Penjara Keempat adalah: "Jail of Ignorance (Kebodohan)".

Kebocoran pengetahuan ini membuat kita melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan orang lain, tapi lebih terutama merugikan diri kita sendiri.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kabut kebodohan menyelimuti kita, membuat kita tak menyadari bahwa kita telah merusak diri kita sendiri, perlahan namun pasti kita terjerumus dalam jurang “ketagihan” yang luar biasa.

Bentuk yang paling sering kita lihat dalam kehidupan ini adalah kecanduan bahan-bahan narkotika, ketika kita terpikat olehnya, kabut kebodohan secara perlahan mengerogoti kita, kita kehilangan harta benda, kita kehilangan kesadaran, kita kehilangan persaudaraan, kita kehilangan segalanya, lalu apa yang kita dapat? Kenikmatan sesaat yang hanya bersifat semu, dan ketika kita kembali ke dunia nyata, sejumlah persoalan nyata telah siap menerkam kita, bahkan mungkin dengan kekuatan yang sepuluh kali lipat dari kekuatan semula.

"Penjara" ini membuat kita kehilangan akal sehat. "Merokok" merupakan contoh dalam bentuk sederhananya (sebelum berkembang menjadi kronis).

Lalu, "penjara" ini akan terbuka jika kita isi hati dan pikiran kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna, terutama pengetahuan "Moral dan Agama".

Keempat "penjara" ini ada dan terus ada di samping kita, kita hanya perlu menjaga hati ini agar tidak terpenjara di dalamnya. Benar kata AA Gym (Ustadz Abdullah Gymnastiar) dalam berbagai kesempatan: “Jagalah hati, jangan kau kotori. Jagalah hati, lentera hidup ini. Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya ilahi”

Akhirnya harus kita teriakkan dengan lantang dalam lubuk hati kita yang terdalam: “Janganlah berbuat kejahatan, perbanyak berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran semua Guru”. Petuah-petuah ini mungkin akan membuat kita terhindar dari Empat "Penjara" Hati yang sangat kita khawatirkan memenjara diri kita sepanjang hayat!.

Selamat berlomba, dengan spirit: "fastabiqû al-khairât!"

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Seng Guan CPLHI, Rabu, 01 Oktober 2008 dalam http://www.andriewongso.com/artikel/artikel_tetap/2028/Empat_Penjara_Hati/)