Selasa, 31 Januari 2012

Bangsa Luar Biasa!!

 Oleh: Muhsin Hariyanto
Seorang penyiar TV di Jakarta bertanya pada korespondennya di Tokyo. "Bagaimana keadaan di Jepang? Setelah bencana, apakah harga-harga pada naik?" tanyanya. "Maksudnya bagaimana?" Tanya koresponden itu balik. "Di Indonesia, kalau ada bencana harga-harga kan naik, terutama tarif transportasi. Apakah di Jepang begitu?"

Itu sungguh perspektif kita. Bencana berarti membuat keadaan tak normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang, tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh?

Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi dalam duka bersama. Pepatah 'mengail di air keruh' tak berlaku di sana. Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru menjaga tegak martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah. Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk mencoba memotong barisan.

Sedih tentu. Siapa tak terluka kehilangan segala? Bahkan, kehilangan sanak saudara. Tapi, semua mencoba tetap tegar. Mereka menolak 'menjual sedih'. Media setempat tak banyak mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukkan upaya bangkit. Sebuah pertandingan sepak bola internasional tetap digelar. Komitmen untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur, Jepang berusaha keras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka cepat bangkit.

Jepang selalu menjadikan petaka sebagai pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan meningkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad sebelumnya, tercengang. 'Kapal Hitam' Amerika Serikat telah bersauh di Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka, 'kalah' dari bangsa lain adalah petaka.

Mereka tak membiarkan itu terjadi. Petaka 'Kapal Hitam' dipakai untuk melecut diri: mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang mengalahkan Rusia pada 1905.

Kalah telak di Perang Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah melahirkan arogansi membuta. Itu membuat Jepang salah jalan. Hasilnya, Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri menjadi lebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.

Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari tragedi itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai pohon diterpa angin. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia.

Tsunami 2011 pekan lalu memang meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti akan belajar dari tragedi ini. Belajar untuk lebih melindungi warga dari ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.

Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta saja. Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik. Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini. Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.

Saat ini, kita belum menjadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang kalah jauh dibanding tragedi Gunung Merapi. Kita masih suka mengecam bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedi menyedihkan 'bom buku' di Utan Kayu, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.

Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedi tsunami, semestinya membuat bangsa ini belajar. Belajar bagaimana kita menjadi bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar biasa.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulilsan Zaim Uchrowi, "Resonansi", Republika, Jumat, 18 Maret 2011)

Kamis, 26 Januari 2012

Empat Penjara Hati

Oleh: Muhsin Hariyanto
Seorang lelaki dengan wajah tertunduk lesu berjalan meninggalkan ruang sidang, ketukan palu "Sang Hakim" telah mengantarnya pergi jauh dari kebebasan, ia akan segera menikmati hari-hari panjangnya di "penjara".

Ini adalah gambaran keseharian dari sebuah peradilan, gambaran keseharian dari sebuah fenomena kehidupan sosial yang mulai terkontaminasi oleh kuman-kuman kehidupan.

Ada kalanya keahlian berkelit dari "Sang Tersangka" melepaskannya dari jeratan "penjara" jasmani, namun "Sang Pelaku" tidak akan pernah lepas dari Empat "Penjara" Hati.

Penjara Pertama adalah: "Jail of Hatred (Kebencian.

Ketika hati kita dipenjara oleh kebencian kita akan cenderung menjadi 'ganas' (buas), ada luapan emosi yang membara, tak terkendali, dan tinggal menunggu waktu terjadinya letupan.

"Penjara" pertama ini membuat kita menderita lebih dari yang kita perhitungkan. "Penjara" ini malah membuat kita melukai diri sendiri dengan gambaran yang berulang-ulang di benak kita, gambaran dari sumber kebencian kita, gambaran yang sesungguhnya hanya dari alam "maya", dari alam bawah sadar kita. Ada sakit yang luar biasa, ketika seorang atau sesuatu yang kita benci melewati jarak pandang kita, radar 'ngilu' di hati segera berbunyi walau seseorang atau sesuatu itu tidak menyentuh kita sedikit pun, bahkan mungkin tak mengetahui keberadaan kita. Rekaman rasa sakit segera diputar berulang-ulang di benak kita, kita akan mengalami penyiksaan bathin berkali-kali untuk satu peristiwa yang sama.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita akan menerima bola-bola lumpur yang siap kita lemparkan kepada mereka yang berada dalam list (daftar) "musuh". Ketika kita meluncurkan bola itu, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, yang dilempar tidak mengelak dan menerima bola lumpur itu sekaligus ikut menemani kita dalam perjara pertama atau yang kedua, ia mengelak bahkan tak pernah menganggap bola lumpur itu ada.

Dari dua alternatif di atas, yang pasti kita menjadi korban pertama dari bola lumpur itu, karena bola lumpur itu telah mengotori tangan kita, kita telah masuk ke dalam penjara itu dan teraniaya di sana.

Oleh berlalunya waktu dan penerimaan atas kondisi serta kekuatan memaafkan, "penjara" ini akan terbuka secara perlahan-lahan, kita akan dibebaskan kembali ke alam netral.

Penjara Kedua adalah: "Jail of Greed (Ketamakan)".

Ketika mata kita hijau, semua seakan tak pernah tercukupi, kita akan menjadi orang "termiskin" di dunia, kita cenderung akan mengambil bagian yang bukan menjadi hak kita, kita cenderung merampas hanya untuk memenuhi keinginan yang pada akhirnya tak akan pernah terpenuhi.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita sepertinya terlahir sebagai raksasa dalam dunia kurcaci, tidak ada rasa kecukupan dalam segala hal, kerakusan membawa kita tidak pernah bisa menikmati hidup, selalu ada derita karena merasa tak pernah puas.

Mari kita lihat dunia nyata saat ini, berapa banyak orang yang ingin segera kaya, lalu setelah kaya 'pingin' lebih kaya lagi, padahal orang kaya tanpa kepuasaan sebenarnya adalah orang miskin yang punya banyak uang, fenomena inilah yang membuat kita sering mendengar banyak kasus korupsi yang mewabah bak penyakit menular.

"Penjara" kedua akan terbuka dan kita akan dibebaskan jika kita telah siap menerima keadaan, merasa puas (bukan pasif, tetapi aktif, dalam arti tidak tinggal diam) serta mensyukurinya apa yang didapatnya saat ini.

Penjara Ketiga adalah: "Jail of Jealous (Iri Hati)".

Ketika benih iri tertanam, kita cenderung tak pernah dapat melihat kebahagiaan orang lain, kita merasa tersaingi, 'ego' kita seakan terhina oleh keberhasilannya, ironisnya kita merasa menderita untuk kebahagiaan itu.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kita segera dikenakan kacamata yang membuat kita selalu melihat seolah-olah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita. Lalu kita pun merasa alam tidak adil terhadap kita, kita akan segera mempersalahkan sekelilingi kita untuk hal yang tidak kita dapatkan.

Yang mengejutkan malah terjadi pada saat kita mendengar kesuksesan orang yang bermil-mil jauhnya dari kita, apa yang kita rasakan pada saat itu sungguh ironis, kita malah merasa iri, padahal apa hubungannya dengan kita? Kadang-kadang malah tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas kita, lebih parah lagi kita malah iri dengan teman kita sendiri, dengan saudara kita sendiri, dengan orang-orang yang kita kenal. Hasilnya, hanyalah penderitaan, ada perasaan tidak mengenakkan di hati kita.

"Penjara" ini akan terbuka ketika 'hati kita' menyadari atas ketidakkekalan (baik kesuksesan atau kegagalan), dan kita dapat menerima keberhasilan orang lain sebagai pemicu keberhasilan kita.

Penjara Keempat adalah: "Jail of Ignorance (Kebodohan)".

Kebocoran pengetahuan ini membuat kita melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan orang lain, tapi lebih terutama merugikan diri kita sendiri.

Kala "penjara" ini menutup hati kita, kabut kebodohan menyelimuti kita, membuat kita tak menyadari bahwa kita telah merusak diri kita sendiri, perlahan namun pasti kita terjerumus dalam jurang “ketagihan” yang luar biasa.

Bentuk yang paling sering kita lihat dalam kehidupan ini adalah kecanduan bahan-bahan narkotika, ketika kita terpikat olehnya, kabut kebodohan secara perlahan mengerogoti kita, kita kehilangan harta benda, kita kehilangan kesadaran, kita kehilangan persaudaraan, kita kehilangan segalanya, lalu apa yang kita dapat? Kenikmatan sesaat yang hanya bersifat semu, dan ketika kita kembali ke dunia nyata, sejumlah persoalan nyata telah siap menerkam kita, bahkan mungkin dengan kekuatan yang sepuluh kali lipat dari kekuatan semula.

"Penjara" ini membuat kita kehilangan akal sehat. "Merokok" merupakan contoh dalam bentuk sederhananya (sebelum berkembang menjadi kronis).

Lalu, "penjara" ini akan terbuka jika kita isi hati dan pikiran kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna, terutama pengetahuan "Moral dan Agama".

Keempat "penjara" ini ada dan terus ada di samping kita, kita hanya perlu menjaga hati ini agar tidak terpenjara di dalamnya. Benar kata AA Gym (Ustadz Abdullah Gymnastiar) dalam berbagai kesempatan: “Jagalah hati, jangan kau kotori. Jagalah hati, lentera hidup ini. Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya ilahi”

Akhirnya harus kita teriakkan dengan lantang dalam lubuk hati kita yang terdalam: “Janganlah berbuat kejahatan, perbanyak berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran semua Guru”. Petuah-petuah ini mungkin akan membuat kita terhindar dari Empat "Penjara" Hati yang sangat kita khawatirkan memenjara diri kita sepanjang hayat!.

Selamat berlomba, dengan spirit: "fastabiqû al-khairât!"

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Seng Guan CPLHI, Rabu, 01 Oktober 2008 dalam http://www.andriewongso.com/artikel/artikel_tetap/2028/Empat_Penjara_Hati/)

Ber'valentine': "Untuk Apa?"

Oleh: Muhsin Hariyanto

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS al-Isrâ' [17]: 36)

Hari Selasa, 14 Februari 2012 yang akan datang, hampir dapat dipastikan (untuk menyatakan "niscaya") banyak anak muda di seputar kita yang 'terjebak' dalam budaya yang tak semestinya mereka ikuti. Utamanya bagi kalangan anak muda muslim yang seharusnya memahami makna 'berbudaya' dalam koridor syari'at Islam. Bahkan, konon memasuki bulan Februari 2012 ini sudah banyak di antara tempat-tempat hiburan (tak terkecuali 'tempat hiburan malam') yang telah menyiapak acara khusus dalam rangka menyambut Hari Valentine, yang diasumsikan sebagai hari 'kasih-sayang' bagi siapa pun yang berkeinginan untuk melabuhkan kasih sayang pada siapa pun, dan juga menyediakan 'pelabuhan' kasih sayang bagi siapa pun yang berkeinginan untuk melabuhkan kasih sayangnya. Ironis, di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini masih saja 'ada' sejumlah orang yang berbudaya 'jahiliyah', tak mau memahami esensi kasih sayang yang semestinya harus disebar secara proporsional dalam bingkai 'syari'at Islam'.

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day) atau disebut juga "Hari Kasih Sayang", pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep semacam ini diciptakan.

Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi (Ind.: pernyatan-pernyataan; Arb: ma'lûmât) dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid; Idonesia: "Dewa Asmara") bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun.http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Valentine - cite_note-0 Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.

Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.

Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya Valentine itu merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.

Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.

Di negeri kita tercinta – Indonesia -- ini di setiap menjelang dan pada tanggal 14 Februari – di setiap tahun berganti – selalu ada 'pemandangan' yang seharusnya tak pernah ada di negeri umat Islam ini, dan seharusnya menimbulkan tanda tanya besar bagi setiap muslim yang ada di seluruh belahan negeri ini. Ketika di sejumlah 'toko swalayan' – misalnya -- menyediakan "bunga- bunga berwarna-warni", yang didominasi warna "merah", dana sejumlah kartu ucapan selamat yang umumnya berlogo cheo pad (dewa cinta dalam keyakinan orang romawi kuno), di berbagai hotel dan restoran mewah hampir pasti menyediakan paket valentine, bahkan siaran radio dan televisi disusun sedemikian rupa untuk memeriahkan hari valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari itu.

Penulis sempat bertanya: "Apakah ini tradisi yang semestinya dilestarikan oleh umat Islam?" Sambil bergeleng-geleng kepala, ketika penulis menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan ke dalam 'lap-top' penulis yang biasanya penulis gunakan untuk menuliskan materi-materi tulisan untuk bahan perkuliahan ini, penukis sempat bertanya-tanya: "kenapa orang-orang yang mengaku bahwa dirinya beragama Islam itu – dengan sangat bodoh – mengikuti 'trend' anak-anak muda (dan bahkan mantan anak-anak muda) yang sebenarnya – sebagai seorang muslim -- tak layak berhura-hura untuk merayakannya? Kenapa mereka dengan serentak mau mengekor orang-orang yang menawarkan budaya 'rendah' semacam itu?"

Sejenak penulis mencoba mengunggah materi "sejarah hari valentine" yang ada di beberapa situs internet. Beberapa referensi dalam situs internet itu menjelaskan bahwa "hari valentine" adalah hari kasih sayang bangsa romawi yang menganut kepercayaan "Animisme", yang dirayakan semenjak 17 abad yang lalu sebagai ungkapan kasih sayang dewa yang mereka percayai. Peringatan itu – dalam kaca mata sejarah Romawi -- berasal dari sebuah legenda bahwa ada seorang yang bernama Romelius (pendiri kota Roma). Dia adalah seorang manusia yang disusui oleh seekor serigala sehingga ia tumbuh menjadi orang yang berbadan kuat dan berakal cerdas. Bangsa Romawi mengabadikan peristiwa tersebut pada pertengahan bulan Februari dengan prosesi perayaan: "Seekor anjing dan domba disembelih, lalu dipilih dua orang perjaka yang berbadan tegap untuk dilumuri tubuhnya dengan darah anjing dan domba. Setelah dilumuri darah anjing dan domba mereka dimandikan dengan air susu. Lalu diarak keseluruh penjuru kota sambil memegang cambuk yang terbuat dari kulit. Di sepanjang jalan para wanita romawi menyambut hangat lesatan cambuk ke tubuhnya, karena diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit dan mudah mendapat keturunan". Peristiwa itu – kemudian -- dikaitkan dengan kisah seseorang yang bernama Valentine. Dia adalah nama seorang penganut Kristen yang dibunuh oleh Claudius pada tahun 296 M. melalui sebuah penyiksaan karena dia 'murtad', berpindah agama dari seorang penganut 'Animis Romawi' menjadi seorang Kristiani.

Setelah bangsa Romawi memeluk agama Kristen, mereka tidak membuang tradisi Animis tersebut tetapi menggantinya dengan memperingati hari kematian Valentine sebagai tokoh penyebar cinta dan damai dan prosesi peringatannya dimodifikasi menjadi: "mereka membuat sebuah perkumpulan massa, lalu menulis nama-nama wanita yang telah memasuki umur nikah pada lembar kertas, lalu digulung. Kemudian dipanggil seorang pemuda untuk mengambil satu kertas dan membukanya. Nama wanita yang tertulis di kertas tersebut akan menjadi pasangannya selama setahun, andai setelah satu tahun hidup bersama tanpa nikah mereka merasa serasi mereka melanjutkannya dengan pernikahan. Andai tidak ada keserasian maka pada hari valentine tahun mendatang mereka berpisah".

Perayaan ini ditentang oleh para tokoh agama saat itu dan mereka mengeluarkan larangan memperingatinya karena dianggap merusak akhlak para pemuda dan pemudi. Hingga tulisan ini di'up-load', penulis tidak menemukan informasi yang jelas tentang siapa yang menghidupkan kembali 'tradisi' ini. Hanya ada beberapa cerita yang mengungkapkan bahwa di Inggris orang-orang memperingatinya sejak abad XV M. Lalu, apa sikap kita sebagai muslim?

Ketika kita sadar, bahwa dari asal-usulnya kita ketahui bahwa perayaan "hari valentine" adalah suatu upacara suci orang-orang Romawi yang Animis sebagai ungkapan cinta kepada dewa mereka, maka kita bisa -- secara sederhana -- berkesimpulan bahwa tradisi ini adalah tradisi 'syirik' tak ubahnya bagaikan ritual orang-orang Arab penyembah berhala mengungkapkan cinta berhala yang berada di sekeliling Ka'bah dengan cara mengelilinginya dalam keadaan telanjang tanpa memakai sehelai benang pun sambil bertepuk tangan dan bersiul, yag selanjutnya diluruskan oleh Rasulullah s.a.w., dengan mengedepankan 'ritual' thawaf.

Penulis pernah mendengar sebuar komentar dari seseorang yang menyatakan bahwa: "ikut merayakan hari valentine dengan saling berkirim kartu ucapan valentine atau menghadiahkan bunga mawar atau saling berkirim surat cinta atau ikut mengadakan atau hanya sekadar menghadiri acaranya", hanyalah soal mu'amalah belaka. Jadi, kesimpulannya, hukumnya "mubah". Benarkah kesimpulan tersebut" Padahal, dalam tradisi itu terkandung beragam unsur madharat, yang antara lain: "orang bisa terjebak dalam 'syirik' dalam bentuknya yang sangat jelas". Belum lagi dampak negatif lainya yang terkait dengan 'kemaksiatan' yang bisa terjadi sebagai akibat dari pergaulan bebas yang bisa tercipta dalam lingkungan yang sangat kondusif untuk melahirkan beragam kemaksiatan.

Oleh karena itu, berbagai alasan untuk membolehkannya, ternyata tidak cukup kuat untuk dipegang. Bahkan, dalam rangka untuk menghindari madharatnya, bagi para 'remaja muslim' yang masih memiliki hati nurani untuk kembai kepada ajaran Islam, katakan bahwa perayaan "hari valentine" bukanlah sesuatu yang baik untuk dilestarikan, karena ia merupakan perayaan yang bisa bermuara pada "syirik", baik syirik dalam pengertian hakiki (dalam bentuk pemberhalaan sesuatu) maupun syirik dalam pengertian majazi/kiasan (dalam bentuk mencintai perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh oleh orang yang bersemangat tauhid), dan menjadikannya sebagai perbuatan yang lebih dicintai daripada perbuatan yang seharusnya dilakukan olehnya, dan 'enggan' untuk meninggalkannya), yang dalam istilah aqidah sering disebut dengan sebutan "fisq" (kefasikan). Karena, betapa pun gegap-gempitanya perayaan 'hari valentine' itu, 'anda' bukanlah orang yang dijamin akan terjaga iman 'anda' untuk tetap bersikap istiqamah, "bertakwa" dalam situasi dan kondisi yang tercipta dalam perayaan yang bernuansa "syirik" semacam itu.

Kini, meskipun masih banyak umat Islam yang ikut-serta merayakan "hari valentine" yang disasumsikan sebagai "hari kasih-sayang" ini, sudah saatnya kita alihkan perayaan semacam ini untuk menjadi sebuah acara yang lebuh bisa diharapkan 'memandu' diri kita "menjadi orang yang selalu bersedia "memelihara dan menuai cinta kepada Allah dan Rasul-Nya", dan kemudian kita sebar-luaskan menjadi cinta kepada sesama muslim".

Semoga – mulai saat ini – kita bisa ber"valentine" karena Allah. Dan oleh karenanya, kita senantiasa berharap: "semoga Allah selalu bersedia menjadikan diri kita menjadi orang yang senantiasa bisa mencintai Allah dan rasul-Nya, dan sekaligus menjadi orang yang mampu untuk saling-bercinta karenaNya, kapan pun dan di mana pun kita berada.

Âmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.

Wates, 17 Januari 2012

(Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Dosen Tidak Tetap STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta).