Senin, 13 Februari 2012

Quantum Reading

Bagaimana Menjadikan Membaca sebagai

Kegiatan Sehari-hari yang Mengasyikkan

dan Bermanfaat bagi Pertumbuhan Otak

(Pengembangan Seluruh Kecerdasan)

Apakah, secara pribadi, kita sudah menyenangi kegiatan membaca? Apakah kegiatan membaca tersebut benar-benar kita jalankan secara kontinyu dan kon-sisten, setiap hari? Apakah buku-buku yang kita baca adalah buku-buku bermanfaat untuk keperluan meningkatkan pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan potensi diri?

Apakah, secara sosial, kita juga merasa bertanggung jawab untuk menjadikan diri kita sebagai “teladan membaca”? Apakah setiap kali mengajar, kita selalu menunjukkan kepada anak didik kita sebuah buku yang sudah kita baca? Apakah kita menekankan pentingnya membaca untuk meningkatkan kualitas pembelajaran? Apakah setiap ada waktu luang, baik sedang bepergian naik kereta api, duduk di taman menunggu anak-anak selesai kursus, berada di ruang tunggu dok-ter, maupun di mana saja–kita senantiasa memanfaatkannya untuk membaca?


Apakah setiap kali membaca sebuah buku, kita dapat merasakan manfaat-langsung dari membaca? Apakah setiap kali membaca buku, kita dapat mengalami secara hebat betapa pikiran kita kemudian menjadi jernih, cerah, dan seperti ber-tumbuh? Apakah juga setiap kali kita membaca, kita mendapatkan hal-hal mengesankan yang kemudian hal-hal mengesankan tersebut dapat kita ingat terus hingga lama? Dan apakah yang kita baca juga dapat kita keluarkan sewaktu-waktu dan kita bagikan kepada orang yang membutuhkannya?

1. Apakah Kita Sudah Memperlakukan Buku sebagai “Makanan”?

Setiap hari, jika tubuh kita tidak kita beri makanan, ada kemungkinan kita menjadi loyo dan kurang sehat. Apalagi jika makanan yang kita makan setiap hari tidak memiliki gizi yang kaya dan tidak higenis; tentulah, kita akan mengalami kesulitan dalam upaya kita membugarkan tubuh atau jasmani kita.

Kita tidak hanya terdiri dari unsur jasmani. Diri kita juga dibangun, selain oleh unsur jasmani, oleh ruhani. Kadang-kadang, ruhani lebih menentukan sosok kita sebagai manusia ketimbang jasmani. Jika jasmani sakit, ada banyak cara mudah untuk menyembuhkannya; namun, jika ruhani yang sakit, ada kemungkinan penyembuhannya lebih sulit ketimbang jasmani yang sakit.

Apabila kita, secara rutin, kadang lewat ritual tiga kali, yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam, jasmani kita setiap hari kita beri makanan, apakah ruhani kita juga kita beri makanan terbaiknya? Mungkin kita menganggap dengan mendengar ceramah keagamaan atau melihat acara siraman ruhani di televisi, setiap hari, kita sudah memberikan “makanan ruhani” kepada diri kita.

Benar, ceramah tetap bermanfaat bagi diri kita. Namun, menurut para ahli saraf (neurolog), ceramah bukanlah “makanan ruhani” terbaik untuk diri kita, khususnya diri kita yang memiliki unsur ruhani. Menurut para ahli saraf, “makanan ruhani” terbaik adalah buku. Dengan membaca buku, sel-sel saraf otak kita bekerja dalam tingkat yang paling dahsyat.

Bahkan seorang ahli saraf yang bekerja di Henry Ford Health System, Dr. Edward Coffey, menunjukkan hasil penelitiannya bahwa kegiatan membaca yang kontinyu dan konsisten dapat menghindarkan seseorang terserang penyakit demensia (rusaknya jaringan saraf otak). Membaca (dengan baik, tentunya), bahkan da-pat mengganti (mengompensasi) jaringan saraf yang rusak.

Sudahkah Anda menganggap buku sebagai sepotong pizza?

2. Apakah Kita Sudah Merasakan Manfaat-Langsung Membaca?

Tak sedikit orang yang menyatakan bahwa hobinya adalah membaca. Tapi, kebanyakan orang yang hobinya membaca tersebut lupa bertanya kepada dirinya sendiri: apa yang telah kudapat dari kegiatan membacaku? Dan tak sedikit orang yang secara rutin melahap buku-buku, baik itu novel, kumpulan cerita pendek, atau buku yang lain, kadang merasa kosong atau hampa tidak mendapatkan apa-apa usai membaca.

Memang, membaca saja tanpa memahami apa yang dibaca sudah sangat bermanfaat bagi otak. Membaca adalah “mengolahragakan” otak, melatih otak untuk bekerja secara aktif. Ahli linguistik, Dr. Stephen D. Krashen, dalam peneli-tiannya mengungkapkan bahwa orang yang jarang membaca, dan setiap hari hanya menonton televisi, tidak mungkin memiliki otak yang dapat digunakan untuk berefleksi (memikirkan sesuatu secara sangat mendalam). “Otak orang ini,” kata Dr. Krashen, “adalah otak yang dangkal.”

Namun, ada baiknya kita tidak hanya berhenti pada sebatas hanya menjalankan kegiatan membaca. Jadikan kegiatan membaca kita sebagai sebuah cara untuk menumbuhkembangkan pelbagai potensi diri. Dengan tibanya zaman yang sangat cepat berubah seperti saat ini, membaca dapat kita tata sehingga membuat diri kita tidak akan ketinggalan zaman. Untuk menata kegiatan membaca kita, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah bertanya “Apa Manfaat-Langsung yang Kudapat dari Membaca?”

Apabila setiap kali ada keinginan membaca dan setelah selesai membaca kita menggunakan AMBAK (akronim dari Apa Manfaatnya Bagi Ku? Bertanya tentang apa yang diperoleh dari membaca), ada kemungkinan besar, kegiatan membaca kita menjadi dapat kita tata. Misalnya, kita dapat memilih buku yang benar-benar “bergizi”. Kita juga dapat mencicipi dulu buku-buku yang tidak akan menyiksa diri kita. Lantas, kita dapat membaca secara 'ngemil' (mencicil) dan setiap kali usai 'ngemil', hasil membaca kita itu kita 'ikat' (dituliskan secara bebas dalam bentuk personal/subjektif).

Saya yakin, jika dapat menata kegiatan membaca kita, dan setiap kali usai membaca, kita lantas “mengikat makna” apa yang kita baca, kita tentu akan didorong untuk menulis. Memiliki kemampuan menulis adalah manfaat langsung terdahsyat dari kegiatan membaca yang tertata.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Hernowo, [Bandung, 11 April 2007], dalam http://beritapas.wordpress.com/2007/05/01/quantum-reading-menjadikan-membaca-sebagai-kegiatan-mengasyikkan/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar