Jumat, 18 November 2011

PLURALISME ?

Pada 17 Maret lalu kami mengikuti diskusi yang diadakan oleh Pimpinan Komisariat IMM FAI UMY dengan pembicara Bapak Fathurrahman Kamal, Lc. MA. Tema yang cukup menarik untuk dibahas. PLURALISME. Pluralisme memang bukan wacana baru bagi kita. Berbagai workshop, seminar, konferensi sampai diskusi diselenggarakan untuk membahas masalah Pluralisme. Wacana pluralisme pun semakin meluas di ranah publik hingga merambah ke berbagai kalangan. Berbagai pihak mulai terusik dengan hiruk-pikuk faham ini di sekeliling kita sebagai insan yang memikul amanah amar makruf dan nahi munkar.Ada yang disayangkan di tengah semakin bergulirnya wacana pluralisme ini. Sampai saat ini masih ada kegamangan atas pendefinisian pluralisme. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bapak Fathurrahman Kamal di kesempatan diskusi kami di gedung lantai dua FAI UMY itu. Menurut beliau bahkan ada sebagian tokoh pluralisme yang memberikan pemahaman kabur tentang pluralisme. Entah karena kaburnya pemahaman mereka sendiri terhadap pluralisme atau sengaja menggiring opini masyarakat agar mengamini propaganda mereka. Pluralisme dianggap hanya sebagai toleransi beragama sehingga tidak perlu ada kekhawatiran pada faham ini dan justru mendukung tumbuh suburnya pluralisme yang bukan hanya di negri yang mayoritas muslim ini. Oleh karena itu sebelum membicarakan bersama masalah pluralisme, marilah kita satukan pandangan terlebih dahulu atas definisi isu tersebut.
Baiklah, apa itu pluralisme?
Beberapa versi muncul atas pendefinisian faham ini denagn berbagai latar belakang dan kepentingan mereka. Padahal keberagaman definisi ini mengandung konsekuensi logis tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi isu pluralisme itu sendiri. Apakah pluralisme adalah sesuatu yang seharusnya kita tumbuh suburkan di tengah keberagaman keyakinan kita ataukah kita cegah demi keutuhan keyakinan kita? Menurut Bapak Fathurrahman, sebagian orang memahami pluralisme hanya sebagai toleransi agama. Tidak lebih. Jika demikian maka tidak ada gunanya kita memperdebatkan wacana ini. Toleransi agama memang diajarkan dalam Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam Islam ada yang namanya tasamuh yakni toleransi beragama namun tetap ada batas-batasnya sehingga praktek pluralisme yang kita lihat sudah banyak yang tidak bisa dikatakan sebagai bentuk toleransi agama.
Di tempat yang lain pluralisme disebut ada yang bersifat sosiologis dan ada pula yang bersifat filosofis-theologis. Pluralisme yang sifatnya sosiologis dimaksudkan sebagai toleransi beragama sedangkan pluralisme filosofis-theologis adalah transenden unity of religions (kesatuan transenden agama-agama / kesatuan agama-agama). Ada pula yang secara tegas mendefinisikan pluralisme tidak lain sebagai kesatuan transenden agama-agama, faham ini mengajarkan bahwa semua agama sama, menuju satu Tuhan yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Sehingga adanya beragam agama hanyalah sebagai bentuk pengekspresian mereka beribadah kepada Tuhan. Inti keimanannnya tidak berbeda, menyembah Tuhan.

PLURALISME SEJATI
Terlepas dari berbagai versi definisi pluralisme ini, kita harus tahu apa yang dimaksudkan oleh para penganjur pluralisme sejati. Siapakah mereka?
Pluralisme tidak muncul begitu saja. Faham ini telah menjadi suatu proyek untuk disebarkan di seluruh penjuru dunia. Pluralisme lahir dari pemikiran orang-orang yang merasa tidak puas dengan agama mereka sendiri dari sisi theologis maupun historis. Oleh karena itu mengambil definisi suatu isu dari pencetusnya sendiri adalah langkah cukup bijak daripada terus menerus memperdebatkannya tanpa ujung yang pasti. Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama “ adalah pandangan subjektif yang jelas-jelas ditolak oleh pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat dalam penjelasan resminya yang berjudul What Is Pluralism? Menyatakan salah satunya bahwa “Pluralism is not just tolerance”, dalam penjelasannya yang lain ia juga mengatakan yang diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut : “Saya mengusulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang atau kelompok) yang lain ….. suatu kelompok yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif, toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan diri, tapi bukan iklim saling memahami. Toleransi adalah iklim yang sangat rapuh dan rentan bagi masyarakat yang beragam agama…” (Jurnal Islamia, Republika, 14 Januari 2010 hlm 17)
Pluralisme versi Nur Kholis Majid pun mengungkapkan hal yang sama bahwa pluralisme agama bukanlah sekadar toleransi agama. Nur Kholis Majid bahkan mempopulerkan gagasannya berupakalimatun sawa’ atau titik persamaan atau kesatuan agama-agama “Bahwa Pluralisme mengajarkan pada manusia untuk meyakini bahwa ujung Keberagaman agama adalah menuju satu titik yang sama yakni satu Tuhan meskipun pengamalan mereka berbeda-beda. Ia menggambarkank bahwa Islam terbagi menjadi dua teritorial : Islam umum dan Islam khusus. Islam umum berarti semua yang merasa telah berserah diri pada Tuhan maka dia telah Islam sedangkan pengkhususannya yakni keberagaman agama-agama tersebut. Jadi, menurut Nur Kholis Majid, agama boleh berbeda namun intinya sama. ISLAM : PENYERAHAN DIRI.
TUHAN

Islam Umum” Kalimatun Sawa’

Manifestasi “Islam Khusus”
ISLAM NASRANI YAHUDI

Jadi sangat jelas sekali maksud dari para pluralis sejati yakni bukan sekadar bertoleransi agama. Dan pluralisme tidak cocok diterapkan dalam kelompok yang beragam agama. Karena, untuk apa ada dakwah jika semua agama sama, tidak ada istilah murtad dalam kamus pluralisme.
SIKAP KITA
Sebagai calon ulama’, calon da’i, pembela dan penolong agama Allah maka kita harus membuka lebar-lebar mata, telinga dan hati kita terhadap dinamika perkembangan pluralisme yang telah menyerang aqidah umat Isam. Pluralisme adalah masalah yang harus kita pikirkan dan kita pecahkan bersama. Sebisa mungkin kita untuk beramar makruf dan nahi munkar, bukan mendukung amar munkar dan nahi makruf dengan tertipu pada pengkaburan makna pluralisme yang menggiring pada relativisme. Virus relativisme, pluralisme sudah meracuni banyak cendekiawan muslim bahkan tokoh yang kita anggap sebagai teladan umat. Ini tidak terlepas dari faktor ketidakjelasan pluralisme itu sendiri. Toleransi beragama akhirnya menggiring mereka pada pluralisme yang sebenarnya, melanggar batas-batas toleransi yang diperbolehkan Islam. Menganggap semua yang Allah tetapkan dalam Al Qur’an adalah Dhanni. Astaghfirullah..!
Tidak ada salahnya kita aktif mengikuti berbagai diskusi, seminar, workshop yang berkaitan dengan wacana pluralisma dan kawan-kawannya yakni liberalisme, sekularisme, sinkretisme dan isme-isme yang lain yang merupakan masalah kontemporer umat Islam.
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Agama Allah maka Allah akan menolong kalian dan menetapkan kaki-kaki kalian” (TQS. Muhammad : 7)
Untuk itu marilah kita kokohkan aqidah kita terlebih dahulu untuk menghadapi berbagai pengaruh luar yang berbahaya semacam isme-isme itu. Selanjutnya kita coba untuk ikut melihat, mendengar dan memahaminya. Karena banyak fakta menipu tersuguh di hadapan kita dengan kemasan yang begitu menarik dan provokatif. Ini bukan berarti kita menutup diri dan terlalu eksklusif. Ketika membaca buku-buku pemikiran, ada baiknya kita juga membaca latar belakang penulis sebagai langkah membangun persepsi dasar dalam memahami pemikiran-pemikiran mereka. Dan, Jangan lupa juga untuk bertabayyun setelah menerima informasi.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (TQS. Al Hujurat : 6)
Sekali lagi, pluralisme bukanlah sekadar toleransi beragama. Jangan terjebak menyamakan pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme : faham yang menyeru kepada manusia bahwa semua agama itu sama, menuju satu Tuhan dan berhak mendapat surga di akhirat. Sedangkan pluralitas adalah sikap toleransi dalam beragama yakni dalam masalah-masalah mu’amalah duniawiyah. Toleransi yang berusaha dikaburkan akan menggiring pelakunya pada sinkretisme yakni mencampuradukkan praktek-praktek agama.
Artikel ini ditulis dari berbagai sumber; diskusi dan tulisan serta sejauh pemahaman penulis terhadap materi ini. Maka penulis menerima kritik dan saran pembaca, bisa dikirim lewat: ainnurws@yahoo.co.id. Terima kasih.”
(Mata & Sheen_dee)

-CAHAYA-







Tidak ada komentar:

Posting Komentar